Bisnis.com, JAKARTA – Wacana Pemerintahan Prabowo-Gibran akan memiliki 40 kementerian menjadi polemik. Penambahan jumlah kementerian dari yang ada saat ini salah satunya dengan pemisahan.
Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin mengamini bahwa hal itu sangat mungkin terjadi. Menurutnya, dibutuhkan fokus yang mendetil sehingga tak ada masalah apabila kementerian akan mengalami pemisahan atau penggabungan dengan lembaga Negara lainnya.
“Kalau Presiden berkepentingan dan menganggap bahwa itu harus hadir dalam rangka Indonesia lebih kuat, ada urusan apa? Ada pihak bilang bagi kursi atau bagi kue biar saja, makanya ikut politik supaya mengerti jangan hanya ngomong dan tidak mengerti apa-apa,” tuturnya kepada wartawan di kompleks Istana Kepresidenan, Jumat (2/8/2024).
Lebih lanjut, dia menyebut bahwa isu pemisahan Direktorat Jenderal Pajak dengan Direktorat Jenderal Bea Cukai dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan peleburan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tengah menjadi pembahasan di Badan Legislasi DPR.
Meski begitu, dia mengatakan bahwa wacana pemisahan atau penggabungan kementerian/lembaga tersebut masih harus terus didiskusikan antara pihak eksekutif, legislatif, serta presiden terpilih periode 2024—2029 Prabowo Subianto.
“Itu kebutuhannya presiden terpilih, presiden Prabowo Subianto dan mas Gibran yang Wakil Presiden, jadi kalau itu [peleburan kementerian] diajukan untuk kepentingan kelancaran pemerintahan persiden terpilih apa yang salah dan itu dilakukan secara prosedur konstitusi yang benar,” pungkas Ngabalin
Baca Juga
Sementara itu, Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menegaskan bahwa sebenarnya pemerintahan Prabowo—Gibran tak perlu untuk melebur atau memisahkankan kementerian.
Menurutnya, peleburan kementerian atau menambahkan lembaga negara baru akan memberikan beban tambahan bagi Negara sehingga ke depannya justru berpotensi terjadinya tumpang tindih kebijakan antarkementerian.
“Itu lebih ke pemborosan anggaran, tidak efektif karena banyak urusan yang banyak bisa dipikirkan. Misalnya, urusan perumahan masih bisa diurus kok di PUPR. Sekarang saja sudah ada banyak lembang yang fokus di satu bidang. Jadi, kalau nanti dilebur akan ada tumpang tindih kebijakan dan visi pemerintah jadi tidak terimplementasi dengan baik,” tuturnya kepada Bisnis, Jumat (2/8/2024).
Trubus menekankan bahwa peleburan kementerian dan wacana penambahan jumlah kementerian dari 34 menjadi 40 pada pemerintahan presiden terpilih 2024–2029 Prabowo Subianto merupakan urusan membalas jasa politik.
Padahal, dia menilai bahwa apabila tak ada penambahan kementerian akan memberikan penghematan anggaran sehingga tidak akan membebani keuangan Negara ke depan.
“Ini bagi-bagi jabatan karena ini persoalan politik. Justru tak boleh ditambah lebih baik diefisiensi saja, karena akan lebih menghemat, tetapi ya lebih ke politik, mereka yang menuntut kue jabatan sehingga akan tetap dilakukan oleh pak Prabowo. Dan saya melihat bahwa pak Prabowo kepentingan koalisi jadi 40 kementerian akan tetap dilaksanakan,” tandasnya.
Senada, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai bahwa wacana tersebut akan menimbulkan terlalu banyak nomenklatur kementerian karena pemisahan fungsi.
Efeknya, kata Bhima pasti akan ada pelebaran belanja birokrasi. Padahal dengan jumlah kementerian lembaga yang ada sekarang. Mengingat, belanja pegawai tercatat mencapai Rp481,4 triliun dan belanja pegawai Rp410 triliun. Artinya basis belanja birokrasi pemerintah pusat lebih dari Rp890 triliun per tahun.
“Dengan adanya program populis seperti makan bergizi gratis maka ruang fiskal akan semakin sempit, bahkan bisa timbulkan masalah defisit APBN diatas 3%,” pungkas Bhima.
Sebelumnya, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengaku tidak mempermasalahkan wacana apabila pemerintahan Prabowo-Gibran melebur Kementerian PUPR menjadi dua kementerian, yakni Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perumahan Rakyat.
Dia menilai bahwa gagasan tersebut lumrah lantaran penggabungan atau pemisahan kementerian/lembaga negara sudah sering terjadi sejak dahulu.
"Kalau organisasi just vehicle, dulu saja bisa. Jadi ya enggak masalah," katanya kepada wartawan di Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (1/8/2024).
Apalagi, kata Basuki Kementerian PUPR sudah mengalami beberapa kali perubahan. Mulai dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (PUTL) pada 1968-1973. Lalu, berubah nama menjadi Kementerian Pekerjaan Umum pada tahun 1973-1999. Kemudian, pada 1999-2000, menjadi Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah.
Kendati demikian, Basuki belum mengetahui lebih lanjut apakah Kementerian PUPR jadi dipisah kembali atau sebaliknya di periode kepemimpinan selanjutnya.
"Saya belum tahu," tandas Basuki.
Adapun, gagasan pembentukan Kementerian Perumahan di pemerintahan Prabowo-Gibran mulanya disampaikan oleh Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirjoatmodjo.
Niatnya, bidang perumahan yang saat ini masih tergabung dalam Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) bakal dipisah. Hal ini seperti yang terjadi pada era orde baru.
Bahkan, Ketua MPR Bambang Soesatyo juga mengusulkan Kementerian Pekerjaan Umum (PU) dan Kementerian Perumahan Rakyat (PR) dipisah di pemerintahan Prabowo-Gibran mendatang.
Harapannya, Kementerian PUPR lebih mendominasi pembangunan infrastruktur jalan dibandingkan perumahan rakyat, padahal dua-duanya sama-sama penting.